Cerpen: JOYEUX ANNIVERSAIRE* (Kompas, 29 Juni 2014) - Tenni Purwanti - Sepanjang hari ini aku menyiapkan semuanya. Aku telah memesan kamar hotel penthouse dengan pemandangan mengarah ke pusat kota Paris. Saat malam nanti, lampu-lampu kota akan tampak gemerlapan dari atas sini, menghujaniku dengan cahaya-cahaya kecil seperti kunang-kunang di Indonesia saat kanak-kanak dulu. Aku telah meminjam pemutar musik dan piringan hitam dari koleksi barang antik milik ayahku, untuk menambah suasana romantis dan klasik di kamar ini. (...)
Klik Shoe Untuk Melihat Cerpen!
JOYEUX ANNIVERSAIRE*
Oleh Tenni Purwanti
Sepanjang hari ini aku menyiapkan semuanya. Aku telah memesan kamar hotel penthouse dengan pemandangan mengarah ke pusat kota Paris. Saat malam nanti, lampu-lampu kota akan tampak gemerlapan dari atas sini, menghujaniku dengan cahaya-cahaya kecil seperti kunang-kunang di Indonesia saat kanak-kanak dulu. Aku telah meminjam pemutar musik dan piringan hitam dari koleksi barang antik milik ayahku, untuk menambah suasana romantis dan klasik di kamar ini.
Aku juga telah memesan busana haute couture lengkap dengan dance heels-nya dari desainer ternama di Indonesia. Ia membawakan pesananku saat akan menghadiri Paris Fashion Week, seminggu lalu. Busana mewah ini juga diperagakan di acara itu, tapi ia tak akan memproduksi yang serupa lagi. Busana ini hanya milikku seorang.
Sejak pagi tadi aku sudah melakukan perawatan di salon yang dimiliki hotel ini. Seluruh tubuh, mulai dari hair spa, manicure, pedicure, lulur dan pijat, lalu sauna. Setelah itu wajahku didandani, rambutku ditata dengan model braided updo hairstyle agar rambut panjangku tidak menghalangi keindahan gaun haute couture yang kukenakan.
Sedangkan red wine yang kubawa adalah RomanÉe-Conti. Red wine termahal di dunia. Aku meminta satu botol dari koleksi wine ayahku.
Senja mulai mengintip malu-malu. Aku sudah memesan makan malam kepada petugas hotel. Mereka akan membawakannya ke kamar ini jika dia sudah datang. Lalu kami akan makan malam romantis dengan cahaya lilin, dengan jendela kamar terbuka. Agar hanya pemandangan Paris di malam hari saja yang terlihat. Agar kami berdua bisa makan sambil memandangi Eiffel. Lalu menyesap red wine sambil membicarakan cinta.
Setelah itu, lampu-lampu tidur dinyalakan, lilin dimatikan, agar suasana kamar redup dan kami bisa berdansa dalam alunan musik dansa klasik. Lalu kami akan berciuman lembut, lebih lembut dari siapa pun yang pernah jatuh cinta.
Jam 7 malam.
Jam 8 malam.
Jam 9 malam.
Denting jam dinding bersamaan dengan telepon yang berdering. Kukira dari dia, tapi ternyata petugas hotel yang menanyakan apakah makan malam pesananku jadi diantarkan. Jam makan malam sudah lewat dua jam. Akhirnya kuminta diantarkan saja. Meski aku tak nafsu lagi memakannya.
Hanya beberapa menit kemudian petugas hotel datang dan menata meja di sudut jendela kamar sesuai pesananku. Beberapa kali mereka melirik melihatku. Sekilas aku memang merasa mirip Marie Antoinette, Ratu Perancis tahun 1774 sampai 1792. Masa kecilku memang dihiasi kisah tentang Marie Antoinette dalam komik dan kartun Lady Oscar, yang anehnya ditulis oleh penulis Jepang. Aku menyukai penampilan Ratu Perancis kelahiran Austria itu dan berharap suatu hari bisa berdandan sepertinya. Malam ini sudah kuwujudkan.
Setelah memberi tip, petugas hotel tak lagi berani menelisik penampilanku. Mereka pamit usai tugasnya selesai.
Satu jam kemudian….
Aku tidak percaya dia terlambat. Lebih tidak percaya lagi jika dia benar-benar tidak jadi datang. Ponselnya mati. Menyapanya dari semua fasilitas chatting pun tidak berbalas. Di zaman modern dengan segala perlengkapan canggih seperti sekarang ini, mengapa bisa begini sulit menghubungi seseorang?
Aku meminum wine untuk menenangkan diri. Dari banyak artikel kesehatan yang kubaca, meminum red wine secara moderat dapat menurunkan risiko penyakit jantung. Tapi mungkin dengan baru satu kali minum tak akan sanggup menahan serangannya.
Satu gelas.
Dua gelas.
Tiga gelas.
Jam dinding berdentang 12 kali. Jantungku sakit sekali.
Jam 12 malam. Aku datang tepat waktu. Hari ini usiaku bertambah. Tidak ada yang berubah. Aku masih laki-laki single yang begitu mencintai malam. Sehingga aku bahagia sekali bisa mendapatkan pekerjaan di rumah sakit jiwa ini, sebagai petugas jaga malam. Aku bertugas enam hari dalam seminggu, setiap jam 12 malam sampai jam 8 pagi. Kebetulan tahun lalu aku pun diterima di sini saat hari ulang tahun. Jadi aku bisa mudah menghitung berapa lama aku bekerja di tempat ini. Sudah satu tahun. Tapi enam bulan terakhir, aku punya kebiasaan baru setiap kali datang: mengunjungi sebuah kamar khusus yang dihuni seorang pasien perempuan.
Untuk sampai ke kamarnya, aku harus melewati kamar-kamar lain yang berisi orang sakit jiwa dengan berbagai alasan. Ada yang karena rugi besar setelah usahanya gagal. Ada pula yang masuk ke sini karena stres, kalah dalam pemilihan calon anggota legislatif. Ada pula seorang ibu yang keguguran, padahal telah menunggu kehamilan bertahun-tahun. Setiap hari ada saja yang masuk ke sini. Mengapa orang sakit jiwa semakin banyak di Bandung?
Aku mengintipnya dari jendela yang dihiasi jeruji besi. Ia sedang berdansa, sendirian. Sejak perempuan itu datang, ia selalu berdansa setiap jam 12 malam. Aneh, padahal tidak ada jam di kamarnya. Lalu pagi harinya ia akan mengamuk. Memukuli dinding dan tempat tidurnya sendiri, berteriak-teriak. Aku yang selalu bertugas menyuntikkan obat penenang di lengannya dan ia akan tertidur pulas. Lalu aku pulang karena jam kerjaku usai. Begitu seterusnya setiap hari. Aku tak tahu apa yang dilakukannya sepanjang hari sampai tiba jam 12 malam lagi dan ia kembali menari, dengan dirinya sendiri.
Malam ini, aku begitu ingin berdansa dengannya. Aku membawa laptop dengan playlist yang sudah kusiapkan. Tahun 2011 aku begitu menggemari film W.E. yang dibuat oleh Madonna, sampai-sampai aku membeli semua original soundtrack-nya dari iTunes. Malam ini, musik instrumen yang dibuat khusus oleh Abel Korzeniowski itu akan mengiringi pengalaman gilaku, berdansa dengan pasien rumah sakit jiwa.
ZÉphirine Drouhin nama gadis itu. Lahir di Indonesia dan besar di Paris. Anak seorang importir parfum ternama dari Paris. Ibunya asli Paris dan ayahnya asli Bandung. Pantas ia cantik sekali. Darah Eropa-Sunda mengalir dalam tubuhnya. Ia ditempatkan di kamar khusus atas permintaan orangtuanya agar tak ada kolega yang tahu tentang kondisinya. Belakangan baru kutahu, namanya diambil dari nama bunga mawar merambat yang banyak tumbuh di Eropa. Kata petugas jaga perempuan, ZÉphirine stres karena mencintai seorang penyair yang sudah punya istri dan anak.
Aku masuk ke kamarnya saat ia sudah mulai berdansa. Langkahnya tidak berhenti. Ia terus berdansa, entah dengan siapa di dalam kepalanya.
Aku menyalakan laptop dan mulai
memutar judul ”Dance for Me Wallis”. Aku meraih tangannya. Ia tidak mengelak. Sebetulnya aku tak pernah berdansa selama ini sehingga beberapa kali aku hampir menginjak kakinya. Mungkin ia dulunya seorang penari balet, atau ayahnya sering mengadakan pesta dansa, sehingga tangan dan kaki ZÉphirine lentur sekali. Tubuhnya mengikuti alunan musik meski matanya kosong.
Ia tidak melihatku, ia tidak menyadari keberadaanku. Ia pasti sedang berdansa dengan lelaki yang ada di kepalanya. Sepanjang musik mengalun, aku menikmati keindahan wajahnya yang memiliki bercak-bercak merah khas gadis Eropa. Tubuhnya lebih tinggi dariku, rambutnya panjang sebahu, berwarna merah burgundy, keriting, dan berantakan. Giginya rata, bersih, padahal selama di sini ia jarang mandi, apalagi gosok gigi. Di antara semua judul, ”Dance for Me Wallis” ini paling menyayat hati. Lagu itu menjadi semakin sendu dalam gerakan dansa kami. Cinta seperti apa yang membuatmu seperti ini, ZÉphirine?
Tiba-tiba air matanya mengalir di tengah lagu, tapi ia tetap berdansa. Pandangan matanya masih kosong. Ia menangis tanpa isak. Berdansa … dan terus berdansa. Saat aku menaikkan tanganku (seperti yang pernah kulihat dalam film), ia pun berputar di bawah tanganku. Setelah itu aku mengangkat tubuhnya dan aku pun memutar tubuhnya hingga melayang di udara. Perut kami saja yang saling menempel, sementara tangan kiriku di pinggangnya dan tangan kananku menggenggam tangan kanannya. Adegan yang hanya beberapa detik itu, jika saja terjadi di ballroom hotel mewah, tentu akan sangat indah. Mungkin itu yang ada di kepalanya.
Setelah kelelahan karena mulai berkeringat, aku melepaskan tangannya dan berhenti berdansa. Ternyata ia tetap menggenggam tanganku meski matanya tetap tidak melihat ke arahku. Ia menarik tanganku ke atas tempat tidurnya. Aku mengikutinya, menaikkan tubuhnya ke ranjang, lalu menyelimuti tubuh itu. ZÉphirine langsung menutup matanya dan terlelap. Aku kembali ke ruanganku.
Ternyata esok paginya ia tidak mengamuk, padahal aku sudah menyiapkan obat penenang. Saat aku datang, ZÉphirine sudah bangun. Aku coba ke dapur umum dan membawakannya makan pagi. Ternyata ia mau disuapi olehku. Saat makan itulah pertama kalinya ia menatapku. Ia memperhatikanku dari ujung kepala sampai ujung kaki, menyusuri tubuhku pelan sekali, dengan matanya. Sambil terus menerima suapanku, ia mengunyah sambil melirik pelan ke arah wajahku. ZÉphirine sekali lagi melihat mataku. Meski tatapannya masih saja kosong, tapi ia sudah tahu aku ada.
Begitu seterusnya setiap malam dan pagi. Kini aku punya seseorang yang kurawat sepenuh hati, bukan hanya karena aku dibayar untuk bekerja di tempat ini. Meski mungkin aku hanya pengganti seorang lelaki di kepalanya, yang membuatnya tergila-gila sampai betulan gila. Tapi dengan begini saja sudah membuatku bahagia.
Aku pun mencari tahu kapan ulang tahunnya. Di malam menjelang pergantian usianya, aku membawakan ZÉphirine sebuah gaun yang kubeli dari tabunganku selama bekerja di sini. Aku mengganti piyamanya dengan gaun itu, lalu menyisir rambutnya yang kusut. Sebelum kami berdansa, aku bisikkan sesuatu di telinganya.
”Joyeux anniversaire, ZÉphirine.”
”Merci … Adi …”
Itulah kali pertama ku lihat ZÉphirine tersenyum. Manis sekali. Lalu ia memelukku erat, sambil menangis. Sepertinya bukan tangis duka, tapi haru. Mungkin kerinduannya sudah berakhir.
Tapi namaku Elang…
*) Selamat ulang tahun dalam bahasa Perancis
Oleh Tenni Purwanti
Sepanjang hari ini aku menyiapkan semuanya. Aku telah memesan kamar hotel penthouse dengan pemandangan mengarah ke pusat kota Paris. Saat malam nanti, lampu-lampu kota akan tampak gemerlapan dari atas sini, menghujaniku dengan cahaya-cahaya kecil seperti kunang-kunang di Indonesia saat kanak-kanak dulu. Aku telah meminjam pemutar musik dan piringan hitam dari koleksi barang antik milik ayahku, untuk menambah suasana romantis dan klasik di kamar ini.
Aku juga telah memesan busana haute couture lengkap dengan dance heels-nya dari desainer ternama di Indonesia. Ia membawakan pesananku saat akan menghadiri Paris Fashion Week, seminggu lalu. Busana mewah ini juga diperagakan di acara itu, tapi ia tak akan memproduksi yang serupa lagi. Busana ini hanya milikku seorang.
Sejak pagi tadi aku sudah melakukan perawatan di salon yang dimiliki hotel ini. Seluruh tubuh, mulai dari hair spa, manicure, pedicure, lulur dan pijat, lalu sauna. Setelah itu wajahku didandani, rambutku ditata dengan model braided updo hairstyle agar rambut panjangku tidak menghalangi keindahan gaun haute couture yang kukenakan.
Sedangkan red wine yang kubawa adalah RomanÉe-Conti. Red wine termahal di dunia. Aku meminta satu botol dari koleksi wine ayahku.
Senja mulai mengintip malu-malu. Aku sudah memesan makan malam kepada petugas hotel. Mereka akan membawakannya ke kamar ini jika dia sudah datang. Lalu kami akan makan malam romantis dengan cahaya lilin, dengan jendela kamar terbuka. Agar hanya pemandangan Paris di malam hari saja yang terlihat. Agar kami berdua bisa makan sambil memandangi Eiffel. Lalu menyesap red wine sambil membicarakan cinta.
Setelah itu, lampu-lampu tidur dinyalakan, lilin dimatikan, agar suasana kamar redup dan kami bisa berdansa dalam alunan musik dansa klasik. Lalu kami akan berciuman lembut, lebih lembut dari siapa pun yang pernah jatuh cinta.
Jam 7 malam.
Jam 8 malam.
Jam 9 malam.
Denting jam dinding bersamaan dengan telepon yang berdering. Kukira dari dia, tapi ternyata petugas hotel yang menanyakan apakah makan malam pesananku jadi diantarkan. Jam makan malam sudah lewat dua jam. Akhirnya kuminta diantarkan saja. Meski aku tak nafsu lagi memakannya.
Hanya beberapa menit kemudian petugas hotel datang dan menata meja di sudut jendela kamar sesuai pesananku. Beberapa kali mereka melirik melihatku. Sekilas aku memang merasa mirip Marie Antoinette, Ratu Perancis tahun 1774 sampai 1792. Masa kecilku memang dihiasi kisah tentang Marie Antoinette dalam komik dan kartun Lady Oscar, yang anehnya ditulis oleh penulis Jepang. Aku menyukai penampilan Ratu Perancis kelahiran Austria itu dan berharap suatu hari bisa berdandan sepertinya. Malam ini sudah kuwujudkan.
Setelah memberi tip, petugas hotel tak lagi berani menelisik penampilanku. Mereka pamit usai tugasnya selesai.
Satu jam kemudian….
Aku tidak percaya dia terlambat. Lebih tidak percaya lagi jika dia benar-benar tidak jadi datang. Ponselnya mati. Menyapanya dari semua fasilitas chatting pun tidak berbalas. Di zaman modern dengan segala perlengkapan canggih seperti sekarang ini, mengapa bisa begini sulit menghubungi seseorang?
Aku meminum wine untuk menenangkan diri. Dari banyak artikel kesehatan yang kubaca, meminum red wine secara moderat dapat menurunkan risiko penyakit jantung. Tapi mungkin dengan baru satu kali minum tak akan sanggup menahan serangannya.
Satu gelas.
Dua gelas.
Tiga gelas.
Jam dinding berdentang 12 kali. Jantungku sakit sekali.
Jam 12 malam. Aku datang tepat waktu. Hari ini usiaku bertambah. Tidak ada yang berubah. Aku masih laki-laki single yang begitu mencintai malam. Sehingga aku bahagia sekali bisa mendapatkan pekerjaan di rumah sakit jiwa ini, sebagai petugas jaga malam. Aku bertugas enam hari dalam seminggu, setiap jam 12 malam sampai jam 8 pagi. Kebetulan tahun lalu aku pun diterima di sini saat hari ulang tahun. Jadi aku bisa mudah menghitung berapa lama aku bekerja di tempat ini. Sudah satu tahun. Tapi enam bulan terakhir, aku punya kebiasaan baru setiap kali datang: mengunjungi sebuah kamar khusus yang dihuni seorang pasien perempuan.
Untuk sampai ke kamarnya, aku harus melewati kamar-kamar lain yang berisi orang sakit jiwa dengan berbagai alasan. Ada yang karena rugi besar setelah usahanya gagal. Ada pula yang masuk ke sini karena stres, kalah dalam pemilihan calon anggota legislatif. Ada pula seorang ibu yang keguguran, padahal telah menunggu kehamilan bertahun-tahun. Setiap hari ada saja yang masuk ke sini. Mengapa orang sakit jiwa semakin banyak di Bandung?
Aku mengintipnya dari jendela yang dihiasi jeruji besi. Ia sedang berdansa, sendirian. Sejak perempuan itu datang, ia selalu berdansa setiap jam 12 malam. Aneh, padahal tidak ada jam di kamarnya. Lalu pagi harinya ia akan mengamuk. Memukuli dinding dan tempat tidurnya sendiri, berteriak-teriak. Aku yang selalu bertugas menyuntikkan obat penenang di lengannya dan ia akan tertidur pulas. Lalu aku pulang karena jam kerjaku usai. Begitu seterusnya setiap hari. Aku tak tahu apa yang dilakukannya sepanjang hari sampai tiba jam 12 malam lagi dan ia kembali menari, dengan dirinya sendiri.
Malam ini, aku begitu ingin berdansa dengannya. Aku membawa laptop dengan playlist yang sudah kusiapkan. Tahun 2011 aku begitu menggemari film W.E. yang dibuat oleh Madonna, sampai-sampai aku membeli semua original soundtrack-nya dari iTunes. Malam ini, musik instrumen yang dibuat khusus oleh Abel Korzeniowski itu akan mengiringi pengalaman gilaku, berdansa dengan pasien rumah sakit jiwa.
ZÉphirine Drouhin nama gadis itu. Lahir di Indonesia dan besar di Paris. Anak seorang importir parfum ternama dari Paris. Ibunya asli Paris dan ayahnya asli Bandung. Pantas ia cantik sekali. Darah Eropa-Sunda mengalir dalam tubuhnya. Ia ditempatkan di kamar khusus atas permintaan orangtuanya agar tak ada kolega yang tahu tentang kondisinya. Belakangan baru kutahu, namanya diambil dari nama bunga mawar merambat yang banyak tumbuh di Eropa. Kata petugas jaga perempuan, ZÉphirine stres karena mencintai seorang penyair yang sudah punya istri dan anak.
Aku masuk ke kamarnya saat ia sudah mulai berdansa. Langkahnya tidak berhenti. Ia terus berdansa, entah dengan siapa di dalam kepalanya.
Aku menyalakan laptop dan mulai
memutar judul ”Dance for Me Wallis”. Aku meraih tangannya. Ia tidak mengelak. Sebetulnya aku tak pernah berdansa selama ini sehingga beberapa kali aku hampir menginjak kakinya. Mungkin ia dulunya seorang penari balet, atau ayahnya sering mengadakan pesta dansa, sehingga tangan dan kaki ZÉphirine lentur sekali. Tubuhnya mengikuti alunan musik meski matanya kosong.
Ia tidak melihatku, ia tidak menyadari keberadaanku. Ia pasti sedang berdansa dengan lelaki yang ada di kepalanya. Sepanjang musik mengalun, aku menikmati keindahan wajahnya yang memiliki bercak-bercak merah khas gadis Eropa. Tubuhnya lebih tinggi dariku, rambutnya panjang sebahu, berwarna merah burgundy, keriting, dan berantakan. Giginya rata, bersih, padahal selama di sini ia jarang mandi, apalagi gosok gigi. Di antara semua judul, ”Dance for Me Wallis” ini paling menyayat hati. Lagu itu menjadi semakin sendu dalam gerakan dansa kami. Cinta seperti apa yang membuatmu seperti ini, ZÉphirine?
Tiba-tiba air matanya mengalir di tengah lagu, tapi ia tetap berdansa. Pandangan matanya masih kosong. Ia menangis tanpa isak. Berdansa … dan terus berdansa. Saat aku menaikkan tanganku (seperti yang pernah kulihat dalam film), ia pun berputar di bawah tanganku. Setelah itu aku mengangkat tubuhnya dan aku pun memutar tubuhnya hingga melayang di udara. Perut kami saja yang saling menempel, sementara tangan kiriku di pinggangnya dan tangan kananku menggenggam tangan kanannya. Adegan yang hanya beberapa detik itu, jika saja terjadi di ballroom hotel mewah, tentu akan sangat indah. Mungkin itu yang ada di kepalanya.
Setelah kelelahan karena mulai berkeringat, aku melepaskan tangannya dan berhenti berdansa. Ternyata ia tetap menggenggam tanganku meski matanya tetap tidak melihat ke arahku. Ia menarik tanganku ke atas tempat tidurnya. Aku mengikutinya, menaikkan tubuhnya ke ranjang, lalu menyelimuti tubuh itu. ZÉphirine langsung menutup matanya dan terlelap. Aku kembali ke ruanganku.
Ternyata esok paginya ia tidak mengamuk, padahal aku sudah menyiapkan obat penenang. Saat aku datang, ZÉphirine sudah bangun. Aku coba ke dapur umum dan membawakannya makan pagi. Ternyata ia mau disuapi olehku. Saat makan itulah pertama kalinya ia menatapku. Ia memperhatikanku dari ujung kepala sampai ujung kaki, menyusuri tubuhku pelan sekali, dengan matanya. Sambil terus menerima suapanku, ia mengunyah sambil melirik pelan ke arah wajahku. ZÉphirine sekali lagi melihat mataku. Meski tatapannya masih saja kosong, tapi ia sudah tahu aku ada.
Begitu seterusnya setiap malam dan pagi. Kini aku punya seseorang yang kurawat sepenuh hati, bukan hanya karena aku dibayar untuk bekerja di tempat ini. Meski mungkin aku hanya pengganti seorang lelaki di kepalanya, yang membuatnya tergila-gila sampai betulan gila. Tapi dengan begini saja sudah membuatku bahagia.
Aku pun mencari tahu kapan ulang tahunnya. Di malam menjelang pergantian usianya, aku membawakan ZÉphirine sebuah gaun yang kubeli dari tabunganku selama bekerja di sini. Aku mengganti piyamanya dengan gaun itu, lalu menyisir rambutnya yang kusut. Sebelum kami berdansa, aku bisikkan sesuatu di telinganya.
”Joyeux anniversaire, ZÉphirine.”
”Merci … Adi …”
Itulah kali pertama ku lihat ZÉphirine tersenyum. Manis sekali. Lalu ia memelukku erat, sambil menangis. Sepertinya bukan tangis duka, tapi haru. Mungkin kerinduannya sudah berakhir.
Tapi namaku Elang…
*) Selamat ulang tahun dalam bahasa Perancis
Hallo
BalasHapusterima kasih sudah memposting cerpen ini blog anda...dan saya akan sangat berterima kasih apabila ilustrasinya disi keterangan sesuai versi cetaknya d kompas. Supaya karya itu tidak jadi anonim. :-)